Rambut Jarang Di Tengah

Rambut Jarang Di Tengah

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Indonesia dikenal sebagai negara tropis yang memiliki kekayaan buah beragam rasa dan bentuk. Beberapa di antaranya bahkan cenderung langka karena tak mudah untuk ditemukan.

Tidak hanya langka, buah-buah tersebut juga kaya akan manfaat bagi manusia karena mengandung vitamin hingga zat berharga lainnya.

Apa saja buah langka tersebut? Berikut ini daftarnya dikutip dari akun instagram Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buah Langka di Indonesia:

Sepintas mungkin terdengar asing namanya, namun bisa jadi kamu sudah pernah mendengar dalam nama yang lain.

Buah dewandaru ini dikenal memiliki banyak nama, sesuai daerahnya, seperti belimbing londo, cerme asam.

Buahnya yang berwarna merah mengandung banyak vitamin dan nutrisi, seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin C, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin Bi, B2, dan B3 sehingga dipercaya bermanfaat bagi kesehatan.

Namanya mirip dengan alat musik tradisional Jawa Barat, kecapi adalah buah eksotis yang tumbuh subur di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di Amerika Selatan.

Buah kecapi berbentuk bulat, dengan daging berwarna putih (sekilas mirip manggis). Buah ini memiliki kandungan gizi beragam dan bermanfaat bagi kesehatan. Seperti, menurunkan kolesterol jahat, membantu mengatasi gangguan pencernaan hingga menurunkan berat badan.

Buah ini berbentuk menyerupai buah anggur, berwarna ungu kehitaman dan rasanya agak asam. Manfaat dan khasiat dari buah ini antara lain meningkatkan kesehatan tulang dan gigi, menyeimbangkan kadar gula darah, menurunkan risiko anemia hingga sebagai pewarna alami untuk makanan.

Beberapa tahun lalu buah ini masih cukup banyak ditemukan, namun saat ini sudah cukup langka. Buah ini memiliki ciri saat matang sempurna, mempunyai rasa yang manis dan lezat.

Selain namanya yang unik, buah ini memiliki manfaat luar biasa, mulai dari daun, akar hingga buahnya. Untuk akar, ciplukan memiliki khasiat menurunkan tekanan darah tinggi.

Selain itu, akar dan batang ciplukan bisa mengobati diabetes melitus. Sedangkan buahnya bisa untuk mengobati gusi berdarah karena memiliki kandungan vitamin C yang sangat tinggi.

Pohon gandaria adalah flora identitas provinsi Jawa Barat yang memiliki karakteristik seperti pohon mangga karena masih tergolong satu famili.

Selain buahnya, biji buah dan daun gandaria memiliki manfaat bagi kesehatan. Seperti, melembapkan dan menutrisi kulit, memperlancar sistem pencernaan hingga membantu menurunkan berat badan.

Meski memiliki segudang manfaat bagi kesehatan, namun dalam mengonsumsinya tent perlu diimbangi dengan pola hidup sehat.

Buah ini juga sudah terbilang langka dan jarang bisa menemukan kesemek di penjual buah. Kesemek yang matang sempurna rasa dan teksturnya mirip pepaya. Namun sepintas juga mirip sawo. Selain itu ada juga rasa masam dan sepat.

Kesemek punya banyak manfaat jika dikonsumsi secara rutin karena adanya zat fluoride. Mulai dari menjaga kesehatan gigi, gusi, dan mulut.

Nah, itulah 6 buah langka di Indonesia yang sudah jarang ditemukan. Apakah detikers sudah pernah memakan salah satunya?

TAMPIL membuka Pesta Topeng Cirebon adalah Ibu Sawitri, dalang topeng dari Losari. Di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, ia membawakan Klana dan Tumenggung. Yang kemudian terpancar dari arena itu adalah seorang penari yang jelita dan perkasa, bak karang yang kukuh menjulang di tengah badai. Penampilan Sawitri tak keropos karena derita dan waktu. Seperti 11 tahun silam, di Teater Arena ini juga, ia masih tetap gesit dan lincah. Boleh dikata, Sawitri tampil semakin matang karena tempaan: gagah, agung, dan cemerlang. Sawitri tampaknya menjadi bintang dalam Pesta Topeng Cirebon di Taman Ismail Marzuki, 2-7 November pekan lalu. Pesta yang menghadirkan lebih dari 150 seniman topeng: dalang (penari), nayaga (pemain gamelan), dan pengukir kedok (topeng) dari enam wilayah Cirebon: Losari, Majalengka, Gegesik, Indramayu, Kalianyar, dan Slangit. Dan inilah pertama kali Pesta Topeng Cirebon menghadirkan tiga generasi seniman topeng. Munculnya generasi ketiga itu tak terlepas dari upaya Sawitri. Sebelas tahun yang lalu itu, 1982, Sawitri menari di Taman Ismali Marzuki mendampingi kakak kandungnya, Dewi, 70 tahun, sesama pewaris topeng Losari dari ayah dalang Sumitra. Penampilan itulah yang menyalakan api dua bersaudara ini untuk membangkitkan kembali topeng Losari, yang waktu itu bukan saja tak ada kaderisasi, tapi generasi dalang topeng sebaya Sawitri boleh dikata sudah tak ada yang aktif. Dengan bantuan dari skenografer Roedjito, Dewi dan Witri menurunkan kemampuan menari mereka ke cucu-cucu. Dewi, yang menerima ''Anugerah Seni'' Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1983, meninggal diserang sakit, pada tahun 1987. Sejak itu, Witri seorang diri meneruskan amanat ayahnya. Hasilnya tampak dalam pentas kali ini. Dialah Nur Anani, dipanggil Nani, cucu Dewi dari Ibu Murti. Siswi kelas satu SMA PGRI Losari itu menarikan Patih. Ia menonjol dari ketiga saudaranya: Kartini, Umirah, dan Tanengsih. Secara teknis Nani memang belum matang benar, dan dari lima nomor pokok, baru tiga yang ia kuasai: Pamindo, Patih, dan Klana. Rumyang dan Tumenggung belum. Tapi tubuhnya yang kecil tak menghalanginya mengekspresikan peran Patih yang tua dan berwibawa. Ia tampil menjiwai, gagah, dan agung seperti gurunya: Sawitri. Kesan saya, ada rasa yang mirip dituturkan Sawitri jika sedang menari pada Nani: ''Kelihatan oleh saya penonton itu kecil-kecil dan saya yang paling gede. Nggak melihat ini nggak melihat itu, saya yang gede sendiri.'' Walhasil, regenerasi topeng Cirebon berlanjut, tapi bukannya tanpa masalah. Seperti dituturkan dalang Sujana dari Slangit, dalam menari topeng ada dua aspek penting: keterampilan badan dan pengalaman batin. Yang lahiriah itu mudah dikuasai asal tekun dan (waktu dulu) tahan gebuk dari sang guru biasanya bapaknya sendiri. Tapi yang batin, sulit, tak setiap orang tahan mendalaminya. Pada masa lalu, pengalaman batin ini dilatih dengan ''laku'' atau ''mengisi''. Caranya macam-macam: puasa Senin-Kamis, makan pisang satu sehari, atau mutih beberapa hari (kalau kuat sampai 40 hari). Atau mandi berturut- turut di 7 jamban (tempat mandi di sungai). Sawitri memberi contoh, ''Saya belajar sangat tekun. Puasa, perut kosong, mata nggak boleh tidur satu malam. Anak-anak sekarang mana bisa nggak makan nggak minum seminggu?'' Menurut Sawitri, anak-anak sekarang tidak belajar dari hati, yang intinya adalah mempertebal rasa percaya diri, penghayatan, dan penampilan panggung. ''Biar tidak grogi menari di depan orang banyak,'' kata Baedah dan Baerni, dua dalang muda, cantik, yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi: IKIP dan ASTI Bandung. ''Biar nopeng-nya disenangi penonton dan banyak terima panjer (pesanan),'' kata dalang Sumarni, yang setengah baya, atau, ''Agar selamat dunia dan akhirat,'' tutur dalang tertua, Buniah (83 tahun) dari Gegesik. Memang, posisi topeng Cirebon kini jelas beda dengan 20 tahun lalu. Beberapa penopeng telah tampil di forum dunia: Hong Kong, Australia, Amerika Serikat, dan Jepang. Topeng Losari, yang pernah kecewa karena tak jadi pergi, bulan ini akan melawat ke New York, Amerika Serikat. Mudah-mudahan ditangani dengan benar dan pemrakarsanya tahu luar-dalam topeng Losari. Tak mudah memindahkan tontonan desa ke panggung metropol. Tapi tampil atau tak tampil di panggung dunia, upaya mempertahankan nasib topeng Cirebon berjalan tersendat-sendat. Bunga liar yang indah itu kadang-kadang memang menarik perhatian seorang pengelana yang sesekali iseng memetiknya untuk menghias kamar tamu, tapi seterusnya tak dipedulikan. Bisa dimengerti bila topeng Cirebon lebih senang mencari formatnya sendiri dengan merespons situasi setempat: sistem latihan yang lebih cocok, selera masyarakat penanggap yang menghidupi, dan ''saran'' petugas yang membatasi. Larangan untuk ngamen, misalnya, memutus sebuah mata rantai penting dalam regenerasi topeng Cirebon: pewarisan keterampilan dan pematangan karakter. Dengan seringnya pentas ngamen, uang didapat, hafalan dilatih, dan penghayatan diperdalam. Latihan keras untuk menanamkan kecintaan profesi dan disiplin diri seperti dituturkan Witri dan Sukmara masih ada tapi cenderung dijauhi. Witri menceritakan kakaknya, Dewi, ketika masih kecil. Kakak itu, ceritanya, pernah disiram air panas oleh ayahnya karena salah menari dalam tanggapan, ''sampai nggak tumbuh lagi rambutnya.'' Sukmara (kelas 1 SMP, penari Rumyang pada malam pertama) menuturkan disiplin kakeknya mengajar. ''Tidak boleh salah, tidak boleh, kalau salah dipukul. Kadang-kadang kedok saya (dipukul) sampai rusak, nanti dibetulkan. Terus mencoba belajar di depan kaca. Dicari pasnya seperti apa: kalau tolak pinggang seperti apa, jadi kelihatan tarinya. Ketawanya harus benar-benar selaras.'' Faktor lain yang mempengaruhi regenerasi topeng Cirebon yaitu selera penonton. Kini banyak anak muda yang lebih suka tarling, sandiwara, dan dangdut. Konon, dalam sebuah hajatan, dalang topeng kesohor dari Slangit, yang berulang kali melanglang buana, harus menghentikan pertunjukannya karena tak dimaui penonton. Seorang anak muda merebut corong dan mengumumkan, ''Malam ini dilarang menari topeng. Harus dangdut, dangdut,'' dan disambut meriah rekan-rekannya yang mabuk-mabukan. Yang bertahan dan laris adalah yang pandai membaca dan menyesuaikan minat penonton. Dua bersaudara Baerni dan Baedah suka menarikan Samba dan Klana saja, sebagai pembuka dan penutup. Di tengah-tengah diisi dangdut, jaipongan, dan lain- lain. Keduanya juga suka main sandiwara dan menyanyi tarling yang memang lebih gede bayarannya. Pekan lalu, mereka harus mengorbankan lima tanggapan untuk mengikuti Pesta Topeng di Jakarta. Dalang muda lain, Wangi, 33 tahun, dari Indramayu, yang juga cantik dan nyerocos kalau sudah bicara, sering pula melakukan hal serupa Erni dan Edah, walau dengan hati tak rela. Dalang ini baru belajar menari usia 16 tahun karena dipaksa ayahnya, dalang Taham, yang terkenal keras. ''Adik saya tangannya pernah bengkok karena dipukul Ayah.'' Tapi, setelah mencicipi, hati Wangi lekat dengan topeng. Ia cinta dan ingin menarikan Panji yang sudah dengan susah payah dipelajarinya, meski penonton muda banyak yang tak senang. Maka, ia menambah profesi untuk hidup: main sandiwara dan mendalang wayang kulit. Sebuah langkah yang bijak. Ia satu- satunya dalang wayang kulit wanita di Cirebon. Cuma, ia juga pernah sakit hati karena dalam usia 33 tahun dikatakan petugas terlalu tua untuk menari dan disarankan untuk berhenti. Hal begini ini yang sering membunuh kreativitas. Tiga generasi dalang topeng tampil di Pesta Topeng dengan aspirasinya masing-masing. Baerni, Baedah, dan Wangi adalah generasi kini yang dapat menyesuaikan diri dengan selera masyarakat yang semakin sekuler dan memasar. Nani, Sukmara (Losari), Pipit (Gegesik), dan Inu Kertapati (Slangit, anak Sujana, kelas 1 SMP) yang berbakat barangkali masih terlalu dini menentukan pilihan. Kemudian ada generasi tua seperti Jana, Buniah, Carpan, dan Sawitri yang gigih bertahan. ''Saya tidak akan menghilangkan adat karuhun. Asli saya bilang. Orang senang ayo, nggak senang sudah. Kalau untuk tari merangsang, sudah, telanjang saja,'' kata Sawitri ketus. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini