Bunyi Pasal 33 Ayat 3 Uud Nri Tahun 1945 Adalah
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
UUD 1945 mengatur berbagai hal tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah hak dan kewajiban warga negara sebagaimana terdapat dalam pasal 27 ayat 3.
Hak dan kewajiban warga negara secara keseluruhan tertuang dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak yang terdapat di dalamnya antara lain hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak, hak mendapatkan pendidikan, hingga perlakuan yang sama di depan hukum.
Sementara itu, beberapa kewajiban warga negara yang diatur dalam pasal tersebut adalah adalah taat hukum dan pemerintahan, ikut serta dalam upaya pembelaan negara, menghormati hak asasi manusia orang lain, dan tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu hak sekaligus kewajiban warga negara adalah ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Hal ini tercantum pada pasal 27 ayat 3. Berikut bunyinya.
Bunyi Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945
Pasal 27 ayat 3 UUD 1945 berbunyi, "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara."
Penerapan Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945
Pasal 27 ayat 3 mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara dalam upaya pembelaan negara. Melansir laman Kementerian Pertahanan RI, Rabu (16/3/2022), pasal tersebut mengandung dua makna.
Pertama, setiap warga negara berhak sekaligus wajib dalam menentukan kebijakan-kebijakan tentang pembelaan negara melalui lembaga yang mewakilinya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Kedua, setiap warga negara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara. Hal ini sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.
Wujud usaha bela negara sendiri diselenggarakan melalui Pendidikan Kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara sukarela dan wajib. Pengabdian sesuai profesi ini diatur dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Selain sebagai kewajiban dasar manusia, upaya bela negara sebagaimana diamanatkan dalam pasal 27 ayat 3 ini juga menjadi kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban kepada bangsa dan negara.
Negara tak punya arah, dalam mengambil kebijakan yang sehat. Negara yang baik selalu memerlukan pedoman dan patokan yang jelas. Indonesia memiliki landasan dalam melaksanakan nilai-nilai, yaitu UUD 1945, yang memiliki nilai sakral dan kuat. Orientasi terakhir upaya negara dalam melaksanakan lajur jalan pemerintahan atau setiap mengambil kebijakan harus menciptakan kebahagian bagi rakyatnya. Hal itu tentu saja harus berangkat dari UUD 1945 yang sudah diimani bersama-sama secara khidmat.
Namun anehnya, rezim pemerintahan saat ini dan sebelumnya acapkali mengabaikan akan adanya UUD 1945, sehingga negara keluar dari koridor yang semestinya, kekuasaan menindas bagi rakyat kecil yang tak berdaya, pengambilan keputusan yang gegabah, kebijakan terus-menerus mengeksploitasi rakyat, pembagian atau alokasi yang ugal-ugalan.
Persoalan agraria yang tak pernah selesai
Akhir-akhir ini banyak kita dapati serentetan peristiwa yang mengindikasikan negara mulai bapuk dalam mengurus hajat banyak rakyatnya. salah satu yang perlu kiranya kami sorot lebih detail dalam hal ini ialah mengenai konflik agraria. Betapa tidak, apa yang terjadi di Kendeng, Rempang, Wadas, hingga pembangunan IKN merupakan serentetan bentuk ketidakseriusan negara dalam menjalankan UUD 1945. Rata-rata letusan konflik agraria disebabkan oleh pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Belum lama ini juga masih terdengar ramai pembicaraan tentang hutan Papua yang hendak dijadikan lahan perkebunan sawit.
Sederet peristiwa tersebut merupakan sebuah bentuk penindasan negara terhadap masyarakat yang berada di kawasan tersebut, upaya dilakukan oleh negara dengan menjadikan daerah pegunungan sebagai lahan pertambangan, investasi asing yang tak terkendali, deforestasi secara ugal-ugalan dan eksploitasi sumber daya alam. Hal tersebut yang mau tidak mau berdampak pada krisis iklim dan ketidakseimbangan ekologi.
Jika ditarik lebih jauh, letusan konflik agraria tersebut disebabkan oleh ulah pemangku kepentingan. Rezim saat ini membangun proyek strategis di tanah-tanah sudah bagaikan kolonialis. Semua dibangun hanya untuk cukong, sedangkan penduduk asli terasing, terpinggirkan. Sungguh miris hidup di negara yang kekayaan alamnya tak ternilai, masyarakat pribumi justru tersiksa di negara sendiri.
Suara rakyat hanya sebatas angin
Mempertahankan suatu wilayah yang dihuni oleh masyarakat sejak nenek moyang sampai sekarang adalah hal yang sangat sakral. Tak cukup itu, mempertahankan wilayah tersebut juga merupakan hidup dan mati bagi sebagian masyarakat. Apalagi wilayah tersebut menjadi tempat penghidupan bagi masyarakat. Tapi tidak dengan pemerintah, mereka rakus merebut tanah-tanah yang selama ini menjadi tempat masyarakat hidup.
Akusisi tanah tersebut dilakukan secara paksa dengan menurunkan aparat TNI atau Polri sehingga berujung dengan kriminalisasi, dianiaya, tertembak dan tewas. Berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh warga seperti mengecor kaki di istana negara, suku Awyu Papua mendatangi gedung Mahkamah Agung. Semua dilakukan demi mendapatkan hak hidup dan hak alam. Akan tetapi suara tersebut tidak didengar padahal suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei).
Dengan seperti itu kita tidak bisa mengabaikan kasus konflik agraria yang tidak tersorot oleh publik. Marianne mengatakan, bahwa konflik agraria masih banyak yang tidak terdokumentasikan atau dilaporkan sehingga datanya lebih bersifat tidak sesuai dengan kenyataan. Ini menunjukan bahwa undang-undang tidak serius dijalankan oleh pengampu jabatan.
Bayangkan, betapa negara ini bapuk mengurusi hukum dengan lapuk. Dosa yang mereka lakukan pun berlipat ganda. Dosa vertikal dan horizontal. Dosa yang profan dan sakral. Sungguh, tak sedikitpun kita lihat sikap altruisme dari mereka yang hari ini kita sebut pemerintah.
Hukum untuk penguasa dan pemodal
Adanya UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) tak menghalangi upaya pemerintah untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan hasilnya masuk dalam saku pribadi orang-orang yang berkepentingan. Padahal bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Nyatanya bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menjadi sebuah pertanyaan, apakah semua tanah milik negara? Menguasai seperti apa? Kemakmuran rakyat yang bagaimana?
Pasal ini mengandung dua hal yang esensial. Pertama, memberikan sebuah hak bernama hak menguasai. Kedua, hak menguasai negara harus diberikan kepada rakyat demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
Sering digaungkan di dunia digital, dunia perkuliahan, bahkan obrolan di warung kopi pun tidak asing mendengar bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum seperti apa? Banyaknya tumpukan berkas Undang-undang menjadi tak bernilai ketika dihadapkan oleh penguasa dan pemodal. Terlebih lagi dalam letusan konflik agraria yang landasan utamanya ialah UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Seakan-akan pasal tersebut mulai rapuh tidak memiliki daya untuk bertahan dalam waktu lama, tinggal menunggu waktu hancurnya saja. Meledak, dan lihatlah kiamatnya.
Seharusnya, negara sebagai pengelola hak menguasai, bukan pemilik yang sewenang-wenang menggunakan tanah secara arogan. Pembangunan proyek strategis tanpa mempetimbangkan dampak lingkungan, membagi-bagi tanah kepada pihak asing dan investor. Akibatnya rakyat mengalami penderitaan seperti hilangnya lahan pertanian, kualitas air semakin memburuk, penggusuran, serta eksploitasi kekayaan alam..
Prinsip “equality before the law” menjadikan tugas hukum untuk membangun kesetaraan. Maka dalam hal ini upaya seharusnya dilakukan oleh pemerintah mengutamakan dialog dan mencapai kesepakatan dengan warga yang terlibat dengan konflik agraria. Dengan begitu, kewajiban negara memenuhi hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang layak dan sehat. (*)
(*) Anas Sholihuddin adalah mahasiswa angkatan 2022 pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Kediri.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!